Sabtu, 15 Desember 2012

SIAPA DIRIGEN ORKESTRA GAMELAN?

Tidak jarang saat berlatih karawitan, kelompok kami sering dikunjungi wisatawan mancanegara. Jalan Tirtodipuran merupakan jalan besar yang dilalulalangi para wisatawan mancanegara yang menginap di kompleks hotel dan guest house di Prawirotaman dan sekitanya. Kemungkinan besar, tabuhan kami terdengar jelas dari luar karena itulah alasan mereka dengan maklu-malu mengintip permainan kami. Jika salah satu dari kami mengetahui ada yang mengintip, maka kami persilahkan masuk dan duduk lesehan dengan alas permadani bujur sangkar seluas orang dewasa duduk bersila, juga kami tawari minum yang biasa kami sediakan saat istirahat kami. Masih dengan malu-malu, mereka akhirnya duduk. Tak jarang tamu-tamu dadakan ini diam-diam mengambil gambar kami yang sedang bermain dengan kamera, maupun dengan sketsa gambaran tangan. Nah, saat awal sekali aku belajar, ada tamu yang menanyakan apa musik yang kami mainkan itu, aku mencoba menjelaskan bahwa gamelan adalah sebuah orkestra lokal. Namun saat mereka menanyakan lebih lanjut, jika ini sebuah orkestra, mana dirigennya? Wah, bingung juga... siapa ya diantara kami yang jadi dirigen? Jika memang tidak ada, mengapa kami bisa memulai, bermain sambil saling mengisi dan selesai secara bersama membentuk sebuah gendhing? Duh...

Pertanyaan ini yang membuat aku makin ingin tahu siapa sebenarnya sang dirigen. Dari pengamatan saat berlatih dan membuka literatur baik dari media cetak maupun elektronik, waaaw... ternyata kendhang. Fungsi kendhang adalah sebagai pamurba wirama alias yang berwenang dalam irama. Pantas saja, pak gurulah yang memegang kendhang sambil berteriak-teriak menterjemahkan aba-aba yang dibangun oleh suara kendhang yang membentuk pola tertentu di setiap aba-aba yang dimaksud.
Nah, kita mesti menghafal di luar kepala pola-pola tersebut. Bila tidak hafal, bakalan tersesat... bunyi yang kita hasilkan juga akan merusak...dan semua mata akan memandang ke arahku...wuuuaaaah!
Pola bunyi dan ritme saat permainan berganti menjadi pada irama perlahan, cepat, keras dan lirih, berhenti secara perlahan, berhenti secara tiba-tiba, berganti jenis... belum lagi bisa terkecoh saat pengendang bermain sekaran, duuuuh...
Tapi setelah terbiasa, telinga dan tangan kita bisa bekerjasama. Telinga mendengar pola bunyi kendang tertentu, tangan kita langsung menyesuaikan apa yang diminta. Tetapi benar-benar perlu waktu dalam belajar.

Jumat, 12 Oktober 2012

Belajar Memainkan Slenthem

Sebagai pemula dalam karawitan, aku bingung ketika melihat peralatan gamelan dan harus memutuskan mana yang akan kumainkan sebagai sarana awal belajar karawitan. Kebetulan aku terlambat datang, jadi ruang pilihanku dipersempit. Dan tak satupun aku tahu cara memainkan dan aturannya. Garuk-garuk kepala. Bayangkan, yang tergelar di situ hanya tinggal kendhang, gender, gambang dan slenthem. Kendhang jelas membuatku bingung. Kulihat gender dan gambang  alat penabuhnya masing-masing ada dua, pasti sulit. Tinggal slenthem yang  menggunakan satu alat penabuh. Well, aku ambil slenthem ini sajalah.

Slenthem Slendro dan Pelog
Kuamati dengan masih bingung, ada 2 perangkat slenthem yakni di depanku dan di samping kananku. Slenthem itu sendiri berbentuk persegi panjang setinggi dada orang duduk, panjangnya kira-kira selebar 2 orang duduk berdampingan, tepatnya berdesakan. Lebarnya sekitar satu setengah telapak tangan yang dikembangkan. paling atas terdiri deretan bilah-bilah logam pipih (yang ini dari perunggu) yang tiap bilahnya melayang karena dililit tali ditopang tiang kecil-kecil sehingga rentangan tali cukup kencang. Di bawah tiap bilah terdapat pipa sebesar bambu petung, sehingga pipa-pipa ini berderet di bawah bilah-bilahnya. Bilah, tali dan pipa dikerangkai dengan kayu jati yang menyatukan perangkat-perangkat ini. 

Slenthem di depanku bilah-bilahnya ditulisi dengan kapur angka 6,1,2,3,5,6,1 sebagai penanda nada yang dihasilkan. Ini yang disebut slenthem slendro. Sedangkan slenthem yang ada disamping kananku, penanda nadanya berangka 1,2,3,4,5,6,7. Yang ini disebut slenthem pelog. Aku tidak tahu apa bedanya, dan kenapa harus dibedakan.

Saat ingin mencoba memukul dan mendengar bunyi yang dihasilkan, aku memngamati alat penabuhnya. Lingkaran pipih dai kayu yang tengahnya diberi tangkai (juga dari kayu) yang lebih panjang dari panjang bilah slenthem. Tepi lingkaran dibalut dengan kain yang sudah digulung selebar tepi lingkaran. Saat kutabuhkan ke bilah, suara yang dihasilkan bagiku saat itu, tidak jelas. Ini sangat berbeda dengan alat yang dipegang kawan-kawan lain terutama demung dan saron. Jika mereka memukul, hasil bunyinya akan terdengar jelas dan nyaring. Duh, yang slenthem ini apa gunanya ya, kenapa saat dipukul tidak jelas. Penting tidak sih alat ini?

Karena tinggi slenthem ini sedada, sikapku jadi tidak begitu nyaman untuk menabuhnya. Pak Guru menyarankan aku untuk duduk "timpuh", yaitu menduduki kedua betisku dengan lutut yang sudah terlipat. Kucoba, memang jadi nyaman saat memukul. Tapi setelah berasa banyak semut menyerang dari bagian paha hingga ujung jari kaki, aku meyerah. Ok, belajar timpuh sampai sekian dulu, besok dilanjut lagi dan berharap bisa lebih lama.

Memathet Slenthem
Saat Pak Guru (ada dua orang dan sudah sepuh-sepuh) memberikan notasi angka di papan tulis, kami mencoba untuk memukul sesuai notasi. Salah satu guru, namanya Pak Totok memberikan penjelasan bahwa saat memukul "balungan" tangan yang satu harus "memathet". Wah apa itu balungan? Apa pula itu memathet? Keterangan lebih lanjut dari Pak Totok, balungan itu ternyata demung dan saron. Lha slenthem ini termasuk balungan tidak ya? Kok tidak disebut. Memathet, ternyata dari kata "pathet" artinya dipegang untuk menghentikan dengung sisa bunyi yang tidak diperlukan. Memathet  yang benar adalah memegang ujung bilah dengan ibu jari dan telunjuk.

Memathet ternyata memerlukan latihan yang intens. Setelah dari arahan Pak Totok, aku mencobanya. Hasilnya, bilah yang kupukul malah tidak berbunyi semestinya. Seharusnya berbunyi "bungggg...bungggg" malah berbunyi "beg...beg". Nah kunci keberhasilannya setelah diberi petunjuk guru yang datang belakangan setelah satu guru selain Pak Totok tidak pernah hadir lagi. Guru yang baru hadir ini (setelah hampir 10 kali latihan mingguan tidak hadir) bernama Pak Hartono dan Pak Mujiran. Nah Pak Mujiran ini yang memberikan informasi bahwa kami harus memathet bilah yang habis kita pukul bersamaan saat kita memukul bilah berikutnya. Harus bersamaan!!! Waaaah, ternyata harus berlatih mengingat: memathet, mana yang habis kita pukul, sekaligus memukul bilah  berikutnya. Alhasil, aku dan kawan-kawan di saron dan demung sering bingung dan akhirnya lupa memathet. 

Saat belajar memathet, awalnya aku hanya menyentuh ujung bilah dengan ujung telapak tanganku. Pak Totok mengetahuinya dan mengomentari kenapa aku hanya "njawil" (menyentuh cepat) saja, harus dipathet yang benar. Baik boss, sebentar, sambil belajar nihhhh....  Akhirnya aku bisa!!! Kenapa aku menyebut bisa, karena saat sela, aku iseng memainkan slenthem sendiri  dengan pathetan, guru baru yang super galak haha... maaf, yang bernama Pak Mujiran, menanyaiku apakah aku pernah memainkan gamelan sebelumnya, ada di kelompok mana...  Lah? aku benar-benar beginner... Aku jawab apa adanya bahwa aku baru ini pegang salah satu alat gamelan. Beliau seolah tidak percaya dengan balik tanya:"kok main slenthemnya sudah begitu?" Lho? lha malah bingung aku. Bukankah beliau sendiri yang memberi arahan cara pukul dan memathet? Walah paaaak, mbokya katakan saja aku sudah memukul dan memathet dengan benar. Perlu diketahui guru karawitan 3 orang ini seperti pada umumnya orang jawa, pelit dengan pujian (biasanya jika memuji tidak mau langsung di depan orangnya ). Tapi kalau menunjukkan kesalahan yang perlu diperbaiki, selalu langsung dan tanpa tedheng aling-aling. Yah selalu beginilah nasib menjadi murid, merasa under pressure.

Slenthem harus Puguh
Suatu saat, Pak Hartono (ini guru yang menurutku paling egaliter dan halus tutur kata dan perilakunya) mengatakan bahwa orang yang memegang slenthem biasanya orang yang pendiam (meneng/mendel) dan kukuh pendiriannya (puguh), tidak mudah terpengaruh. "Bahkan saya tidak berani pegang slenthem", kata belia lagi. Wadaaaw... aku merefleksi diri, apakah aku orang yang begitu, apakah aku cocok dengan slenthem yang kupegang ini? Hiks... Pak Hartono menakutiku ya...

Setelah memainkan beberapa gendhing lancaran dan ladrang, baru aku membuktikan bahwa memang harus kukuh (puguh) dan penuh konsentrasi saat memainkan slenthem, karena notasi yang dimainkan sering kali berbeda dengan lainnya. Slenthem harus ajeg menjaga tempo, bahkan saat irama seseg (cepat), slenthem hanya nibani, mengambil satu nada yang sesuai tempo sebelumnya. Tidak boleh terpengaruh. Tempo ini yang menentukan adalah irama kendhang, ini satu hal belajar yang lain lagi. Ada lagi yang masih kupelajari saat memainkan slenthem, yakni banyakan. Dalam Ladrang Wilujeng Pelog, ada banyakan dimana slenthem dipukul setelah bunyi saron demung, dan jedanya hanya seperempat ketukan dari ketukan sarong demung. Aku yang terbiasa memukul bersamaan dengan saron demung, jadi berkali-kali memainkan dengan kacau. bahkan sampai dibantu didampingi 3 guru dan 1 pemain senior (Pak Yadi). Saat aku merasa tertantang untuk memainkan dengan benar, para guru ini tak pernah lagi menyuruh memainkan Ladrang Wilujeng... Kecewaaaa...

Slenthem "softer" dan "wrapper" 
Bunyi slenthem yang semula kupikir tidak keluar, ternyata dengungan yang dihasilkan menjadi lebih jelas saat kita tidak ada di dekatnya. Bunyi yang dihasilkan slenthem memang beroktaf paling rendah, mirip bass. Bunyinya terus menggema sampai bilah dipathet. berbeda dengan bilah saron demung yang saat dipukul bunyi dengungnya lebih pendek dari dengungan slenthem. Dari beberapa fungsi slenthem, dalam kepalaku hanya tergambarkan bahwa slenthem ini membuat suara balungan menjadi lebih empuk, sekaligus membungkus suara balungan menjadi satu kesatuan irama yang apik. Beberapa kali aku mencoba untuk tidak ikut memukul, dan kemudian memukul lagi dalam sebuah gendhing, percobaan dalam latihan ini selalu kurekam, dan kuputar di rumah. Hasilnya memang berbeda, suara balungan dengan dan tanpa slenthem. Wow... penting juga ya kehadiran slenthem.

Satu keuntunganku memegang slenthem adalah, disamping  kemudahan memainkan (hanya dengan satu alat tabuh), aku juga dapat memperhatikan hal lain yang penting dalam belajar karawitan. Misalnya aku jadi lebih memahami kerangka sebuah repertoar, mengenali aba-aba kendhang, alat lain apa saja yang masuk saat jeda pukulanku. Lama-lama jadi terbiasa dan akan segera tahu saat ada perbedaan karena kesalahan atau karena ada tambahan/variasi. Tak terbayangkan akan seperti apa kesibukan pikiran dan tangan beginner ini jika sudah mengambil alat musik yang menggunakan dua alat penabuh... alamaaaaak...